Selasa, 20 Juli 2010

Apa itu ilmu fiqih ??

Untuk mengenal Ilmu Fiqh secara umum ada beberapa hal yang penulis rasa penting diketahui dari sekedar defenisi, diantaranya kaitan Syari’ah dan Fiqh, pembahasan (maudhu’) Ilmu Fiqh, tujuan dan fungsi, peletak Ilmu Fiqh, posisinya terhadap ilmu-ilmu lain, hukum mempelajarinya dan ciri khas Ilmu Fiqh.
Materi-materi tersebut perlu diketahui untuk memberikan gambaran global tentang Fiqh, hal ini juga telah dilakukan para ulama-lama dari zaman dahulu sebelum mereka masuk ke dalam pembahas Fiqh, dan mereka merangkumkannya dalam sebuah istilah mabadi’ ‘asyrah Fiqh (sepuluh dasar Ilmu Fiqh yang mesti diketahui). Dan seiring perkembangan zaman ulama-ulama kontemporer juga melakukan hal yang sama namun dengan sistematika yang lebih jelas dan menambahkan beberapa pembahasannya.

A. Syari’ah dan Fiqh
I. Defenisi Syari’ah
a. Secara etimologi, kata syari’ah berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk mashdar (akar) kata syara’a شرع  . Kata syari’ah sendiri dalam bahasa Arab sering digunakan untuk dua makna:
Pertama: Jalan yang lurus, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah swt:
ثم جعلناك على شريعة من الأمر
Kedua: Sumber air minum yang mengalir, seperti perkataan seharian orang Arab:  شرعت الإبل  , jika onta mendatangi sebuah sumber air minum.
b. Sedangkan penggunaan kata syari’ah dalam istilah terminologi para ulama terdapat dua pemahaman berdasarkan sudut pandang mereka ketika berbicara masalah defenisi syari’at.
- Kelompok pertama, yaitu kalangan ulama dalam bidang Akidah atau Ilmu Tauhid, ketika mereka berbicara dalam mukadimah Ilmu Tauhid di saat menjelaskan defenisi dan kandungan Islam, mereka menyebutkan bahwa Syari’ah adalah salah satu cabang ajaran Islam yang terkosentrasi dalam hal-hal amaliyah yang mengatur masalah ibadah, mu’amalat dan hal lainnya yang berhubungan dengan perbuatan dan tindak tanduk manusia sebagai hamba (mukallaf). Di sini penulis mengutip dua defenisi atau keterangan yang disebutkan oleh dua orang guru besar Ilmu Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar:
a. Dr. ‘Awadhullah Gad Higazi rahimahullah, mantan Rektor Univ. Al-Azhar, menjelaskan:
“Sedangkan Syari’ah adalah sebuah ungkapan/istilah tentang segala jenis perbuatan/amalan yang dilakukan manusia, yang dilaksanakan sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah swt dan ketaatan menjalankan perintah-Nya, dan yang demikian itu seperti shalat, zakat dan puasa (ibadah), dan seperti nikah, talak  dan wasiyat (ahwal syakhshiyah), dan juga seperti jual beli, gadai dan hibah (mu’amalat) dan hal-hal lainnya.”
b. Dr. Muhammad Rabi’ Muhammad Jauhari, Dekan Fak. Ushuludin, Univ. al-Azhar, menyebutkan lebih gamblang lagi tentang hal ini:
“Dan Syari’ah adalah sekumpulan perbuatan dan amalan yang ditutut oleh agama dari seorang muslim dalam bentuk ibadah dan mu’amalah (interaksi sosial). Ini adalah sisi praktis (amaliyah) dari Islam, dan dipelajari dalam Ilmu Fiqh”
Dengan demikian, mereka menjadikan Syari’ah dan Ilmu Fiqh itu satu atau dengan kata lain jika berbicara masalah syari’ah berarti itu berkaitan dengan Fiqh
-  Kelompok kedua, yaitu kalangan ulama Fiqh (Fuqaha’), kalimat Syari’ah dalam istilah mereka berarti sekumpulan hukum yang ditetapkan oleh Allah swt bagi hamba-hamba-Nya melalui lisan para Rasul-Nya. Dan dengan demikian istilah Syari’ah Islam dapat bermakna sekumpulan hukum yang ditetapkan Allah swt bagi seluruh umat manusia melaui lisan Rasul-Nya, Muhammad saw, yang terangkum dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Dapat juga ditarik kesimpulan dari defenisi syari’ah menurut kalangan Fuqaha’ bahwa Syari’ah yang mereka maksudkan lebih luas cakupannya dan termasuklah di dalamnya masalah-masalah akidah, fiqh dan akhlak, yang mana defenisi seperti ini di kalangan ulama Akidah mereka gunakan dalam mendefenisikan Agama Islam (ad-Din al-Islami).
II. Defenisi Fiqh
a. Dari sudut pandang etimologi, secara umum kata fiqh berasal dari bahasa Arab فقه  yang berarti pemahaman terhadap sesuatu ( فهم الشيء ) , seperti yang termaktub dalam firman Allah :
قالوا يا شعيب ما نفقه كثيرا مما تقول
“Mereka berkata: “Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu”. (QS Hud: 91)
فمالِ هؤلآء القوم لا يكادون يفقهون حديثاً
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?”. (QS. An-Nisa’: 78)
Berangkat dari itu para ulama juga berbeda dalam penggunaannya secara bahasa ini:
- Imam Abu Hamid al-Ghazali dan al-Amidi berpendapat bahwa kata Fiqh bermakna pemahaman secara mutlak, baik pemahaman tersebut bersifat mendalam maupun sebaliknya, atau pemahaman itu adalah pemahaman terhadap maksud pembicara maupun sebagainya.
- Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi dan para pengikutnya berpendapat bahwa kata Fiqh itu secara bahasa bermakna pemahaman terhadap sesuatu yang rumit dan mendalam, maka penggunaannya dalam kalimat seperti: “Saya mengetahui (فقهت) bahwa langit berada diatas kita dan bumi dibawah kita” tidak dianggap bagian dari Fiqh, karena hal tersebut adalah sesuatu yang sudah jelas.
- Sementara Syekh Abu al-Hasan al-Bashri dan Imam ar-Razi berpendapat bahwa kata fiqh itu digunakan secara bahasa dengan makna pemahaman terhadap maksud dari perkataan si pembicara, makanya pemahaman terhadap bahasa burung tidak dikategorikan fiqh.
b. Dari sudut terminologi, banyak sekali ulama yang mencoba mendefenisikannya, sehingga banyak pula terjadi perdebatan diantara mereka.
Sebelum menerangkan makna terminologi ini perlu diketahui bahwa kalimat fiqh di masa awal Islam, masa Rasul saw dan Sahabat, bermakna umum, mencakup sisi keyakinan, amalan dan akhlak, sebagaimana makna syari’ah yang dikemukakan ulama Akidah. Maka istilah faqih waktu itu dipakai bagi siapa saja yang bisa memahami Islam secara utuh. Sampai akhirnya muncul Imam Abu Hanifah yang mencoba meletakkan defenisi fiqh tersebut, beliau berkata: “Fiqh adalah mengetahui atau mengenal mana yang baik dan mana yang buruk bagi diri”.  Namun pengertian ini hanya bentuk kongkrit dari makna fiqh yang sebelumnya masih belum tersusun dan masih berada dalam pemahaman umum, karena defenisi Imam Abu Hanifah ini juga bersifat umum seperti yang dijelaskan tadi. Dengan perkembangan Ilmu Fiqh yang cukup pesat, para ulama baru mulai mencurahkan perhatian pada defenisi terminologi Fiqh sebagai sebuah disiplin ilmu, maka dimulailah perdebatan itu.
Disini kita hanya coba memaparkan beberapa diantara defenisi Fiqh yang diutarakan oleh ulama tersebut.
1. Defenisi Fiqh menurut Imam Abu Ishaq asy-Syairazi:
معرفة الأحكام الشرعية التي طريقها الإجتهاد
“Pengetahuan atau konsep tentang hukum-hukum syari’at yang lahir melalui metode ijtihad”
2. Defenisi Fiqh menurut Imam Baidhawi:
العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
“Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat praktis (amaliyah) dan merupakan hasil pengolahan dalil-dalil yang terperinci”
Defenisi ini adalah defenisi yang dikemukakan juga oleh Imam Syafi’i (Lih. Syarh Jam’i al-Jawami’ li al-Mahalli: I/32) dan kemudian menjadi defenisi yang paling banyak dipakai para ulama dalam menjelaskan makna Ilmu Fiqh.
Dua defenisi di atas adalah defenisi Ilmu Fiqh yang masyhur dikalangan ulama Ushul. Satu hal yang ingin dipertegas para pakar Ushul dalam defenisi-defenisi yang mereka kemukakan adalah bahwa Fiqh merupakan hasil ijtihad yang hanya menjadi hak khusus para mujtahid, tidak golongan lain.
Sedang di kalangan ulama Fiqh (Fuqaha’) sendiri memiliki defenisi lain tentang Fiqh. Dr. Sya’ban Muhammad Isma’il menjelaskan bahwa terdapat dua defenisi yang sering digunakan Fuqaha’ untuk kata fiqh ini:
Pertama, fiqh bermakna menghafal (hifzh) sekumpulan masalah-masalah hukum syari’ah amaliyah yang terdapat di al-Qur’an dan Sunnah, serta hukum-hukum yang lahir dari pengolahan (istinbath) kedua sumber tersebut.
Maka fiqh dengan makna seperti ini tidak khusus bagi mujtahid saja sebagaimana yang dipahami ulama Ushul, akan tetapi lebih luas sampai menjadi hak setiap orang yang ingin menggeluti bidang ini meskipun belum mencapai derajat mujtahid.
Kedua, ulama Fiqh juga sering menggunakan kata fiqh dengan maksud kumpulan hukum dan masalah itu sendiri.
Dari defenisi di atas penulis rasa cukup untuk memahami dan menjawab pertanyaan “Apa itu Fiqh?”, dan penulis sendiri lebih cenderung kepada defenisi yang diungkapkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah yang juga banyak digunakan para ulama sepanjang zaman dalam mendefenisikan Ilmu Fiqh.
Untuk menguatkan pilihan penulis ada baiknya di sini penlis terangkan sedikit tentang penjelasan defenisi Imam Baidhawi yang menjadi defenisi paling masyhur hingga saat ini, namun di sini penulis tidak juga ingin berpanjang-panjang dengan masalah ketatabahasaan.
(العلم ) yaitu ilmu atau pengetahuan, kalimat ilmu ini bersifat umum mencakup semua ilmu, segala jenis ilmu dan belum dibedakan apakah ilmu itu berkaitan dengan suatu zat, sifat, hukum atau amalan, karena ulama membagi sesuatu yang deketahui (المعلوم) atau objek ilmu kepada empat hal tersebut.
Kemudian setelahnya disebutkan kalimat (بالأحكام), ini adalah hal pertama yang membatasi kata ilmu tadi dan sekaligus menjelaskan bahwa al-ma’lum atau objek ilmu disini adalah hukum, atau ringkasnya ini adalah ilmu tentang hukum.
Ini juga masih butuh penjelasan, apakah hukum disini hukum syar’i atau tidak?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut ditambahkanlah kalimat (الشرعية) yang merupakan sifat dari hukum tadi, yaitu syar’i, maka hukum tadi sudah dibatasi juga dan otomatis batasan ilmu diatas juga semakin jelas, bahwa yang dibahas dalam ilmu ini adaslah hukum yang bersifat syar’i atau hukum syar’i, dan hukum-hukum yang tidak syar’i tidak termasuk dalam pembahasan ilmu ini. Akan tetapi hukum syar’i juga masih ada bagiannya, apakah ia yang berhubungan dengan amaliah (praktis) ataukah ilmiah (teoritis).
Selanjutnya defenisi ditambahkan dengan kalimat (العملية) yang merupakan sifat dari syari’i tadi, dan sekaligus juga menjelaskan bahwa ilmu ini adalah ilmu yang membahas tentang hukum syar’i yang menyentuh sisi-sisi praktis bukan teoritis, karena sisi teori (ilmiah) dibahas dalam ilmu Ushul , maka dengan tambahan sifat ini keluarlah Ilmu Ushul dari gambaran kita terhadap ilmu ini.
Batasan selanjutnya adalah (المكتسب), ini adalah sifat ilmu bukan sifat hukum seperti dua hal kata yang sebelumnya, artinya ilmu ini merupakan ilmu yang membutuhkan usaha-usaha pembahasan, penalaran dan penelaahan untuk sampai kepada ilmu tersebut. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa ilmu yang tidak didapat dengan cara seperti ini tidak dikatakan ilmu Fiqh, seperti ilmu Allah swt, ilmu malaikat, ilmu para nabi yang bukan hasil ijtihad, ilmu sahabat Nabi saw yang bukan hasil ijtihad, dan juga ilmu atau pengetahuan yang termasuk kategori al-ma’lum fi ad-din bi adh-dharurah  seperti shalat itu wajib dan lain-lain.
(من أدلتها) maksudnya ilmu hukum syari’i yang bersifat praktis tadi merupakan hasil pembahasan dan penelaahan dari sekumpulan dali-dalil, kemudian untuk menjelaskan jenis dalil yang dibahas ditambahkanlah kata (التفصيلية), yang rinci, karena dalil terbagi dua, ada dalil yang ijmali (umum) dan ada yang tafshili (yang rinci), maka dengan adanya sifat terakhir ini, dalil yang ijmali otomatis keluar dengan sendirinya, karena ia adalah baigan dari ilmu Ushul Fiqh.
Penulis rasa penjelasan di atas sudah mencukupi untuk mendapat gambaran tentang defenisi Fiqh yang cukup komprehensif. Dan kita disini tidak akan memperpanjang tulisan ini sampai pembahasan alasan-alasan dan perdebatan yang terkait defenisi ini, karena justru hanya akan memutar kembali pemahaman yang telah kita dapatkan. Untuk lebih lengkap dan menghilangkan rasa penasaran mungkin pembahasan tersebut bisa kita baca sendiri dalam buku-buku Ushul Fiqh atau di beberapa buku Fiqh yang ada.
II. Hubungan Syari’ah dan Fiqh
Di atas telah kita singgung sedikit tentang perbedaan ulama dalam mendudukkan dan memposisikan Syari’ah terhadap Fiqh. Kalangan ulama Akidah menjadikan Syari’ah dan Fiqh sebagai sinonim, jika berbicara Syari’ah berarti yang mereka maksudkan adalah Fiqh, atau paling jauh hubungannya adalah hubungan antara sebuah ilmu dengan kanduangan ilmu tersebut, jika Fiqh adalah nama bagi ilmu tersebut maka Syari’ah adalah kandungan ilmu tersebut, sebagaimana yang penulis pahami dari defenisi yang diutarakan Dr. Muhammad Rabi’ Jauhari di atas.
Di lain pihak kalangan ulama Fiqh yang lebih sering bergelut di bidang hukum Islam memandang hubungan keduanya adalah hubungan umum-khusus. Syari’ah mereka pandang lebih bersifat umum dan Fiqh adalah salah satu cabang atau bagian dari Syari’ah yang pembahasannya khusus seputar huku-hukum praktis (amaliyah).
Perbedaan antara dua istilah ini diringkaskan Dr. Rasyad Hasan Khalil dalam empat poin:
a. Syari’ah  bersifat umum dan mencakup seluruh hukum-hukum yang berhubungan dengan keyakinan (akidah), akhlak dan perbuatan (amaliyah).
b. Fiqh adalah bagian dari Syari’ah, yang khusus berhubungan dengan hukum-hukum praktis perorangan, seperti shalat, pidana, jual beli, kehakiman dan seluruh tindak-tanduk manusia.
c. Syari’ah adalah sebuah ungkapan untuk sejumlah hukum dan aturan yang menjadi latar belakang penurunan al-Qur’an dan Sunnah.
d. Fiqh adalah hasil pemahaman dan istinbath (pengolahan) al-Qur’an dan Sunnah, dan ia adalah sisi praktis (tathbiqi) dari Syari’ah.
Dan beliau menambahkan bahwa meskipun Syari’ah lebih umum dari Fiqh, tapi tidak salah juga jika ada yang menyamakan istilah Fiqh dengan Syari’ah dalam pemakaiannya, sebagaimana yang sering terjadi belakangan ini, khususnya di bidang hukum. 
Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Madkhal li ad-Dirasah al-Islamiyah juga mencoba menarik benang merah antara kedua istilah ini setelah menerangkan makna masing-masing istilah, dan menyimpulkan bahwa “Syari’ah adalah tujuan dan Fiqh adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut”.
Dengan demikian agaknya tidak salah jika kita berkesimpulan bahwa hubungan dua istilah ini adalah hubungan umum-khusus, term Syari’ah lebih umum daripada term Fiqh, tanpa maksud mengenyampingkan sebagian pendapat yang cenderung menyamakan kedua term ini. Sehingga kesimpulan terakhir penulis terhadap defenisi kedua term ini adalah; Syari’ah adalah semua hukum dan aturan yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW, sedangkan Fiqh adalah sebuah disiplin ilmu yang merupakan hasil olah dan telaah para ulama terhadap aturan dan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah setelah wafatnya Rasulullah SAW, dan aktifitas pengolahan dan penelaahan inilah yang kemudian kita kenal dengan istilah Ijtihad. Maka kesimpulan ini sangat sejalan kiranya dengan kesimpulan yang dikemukakan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi di atas, dan sekaligus memantapkan bahwa ilmu Fiqh merupakan instrumen penting untuk mewujudkan satu slogan “Asy-Syari’ah al-Islamiyah Shalihah li Kulli Zaman wa Makan” (Syari’at Islam bisa berlaku kapan saja dan dimana saja).
Setelah mendudukkan pemahaman tentang term Fiqh dan Syari’ah, ada satu term lagi yang sebaiknya dikenal sedikit, yaitu istilah Tasyri’. Dikatakan sedikit karena kata tasyri’ sendiri masih satu rumpun kata dengan kata syari’ah, sehingga pemahamannya tidak terlalu jauh berbeda, jika syari’ah bermakna hukum atau aturan, maka tasyri’ bermakna proses pembentukan dan penentapan hukum/aturan (sannu asy-syari’ah wa bayan al-ahkam wa insya’ al-qawanin) . Hubungan antara kata syari’ah dengan tasyri’ ini berimplikasi pada pemahaman bahwa tasyri’ islami (proses pembentukan hukum Islam) pada hakikatnya hanya terjadi pada masa kerasulan Nabi Muhammad SAW, sedangkan hukum-hukum Islam yang lahir pasca wafat Nabi SAW, yang kita sebut Fiqh, tidak termasuk kedalamnya. Namun dalam perkembangannya term tersebut mengalami perluasan makna, dan menjadikan semua proses pembentukan hukum Islam sepanjang zaman dalam ruang lingkup tasyri’ islami. Oleh karena itu tidak perlu heran jika kita mendapatkan Tarikh at-Tasyri’ al-Islami merupakan pembahasan tentang sejarah perkembangan Syari’at Islam dan Fiqh secara keseluruhan, bukan hanya pada masa Rasulullah SAW saja.
B. Pembahasan (Maudhu’) Ilmu Fiqh
Berdasarkan defenisinya, maka yang menjadi pembahasan dalam ilmu Fiqh secara umum mencakup seluruh perbuatan dan tindak-tanduk manusia di muka bumi, tanpa terkecuali.
Kemudian para ulama memilah-milah dan menjadikan perbuatan manusia itu ke dalam beberapa kategori, sehingga semakin jelaslah apa saja yang disinggung di dalam Ilmu Fiqh tersebut.
Sebagian ulama membagi pembahasan Fiqh kepada dua kategori besar:
1. Ibadah, yang mencakup shalat, puasa, zakat dan haji
2. Adat, yaitu semua perilaku manusia yang tidak termsuk kategori ibadah, baik itu dalam ruang lingkup kriminalitas, muamalat, wasiat, hukum waris dan sebagainya.
Sebagian ulama lainnya membaginya kedalam empat kategori:
1. Ibadat
2. Yang berhubungan dengan individu, inilah yang dinamakan mu’amalat seperti jual beli dan lain sebagainya.
3. Yang berhubungan dengan keluarga dan rumahtangga, yaitu masalah nikah dan hal lain yang berhubungan dengannya.
4. Yang berhubungan dengan urusan masyarakat dan kenegaraan, inilah yang termasuk kategori ‘uqubat (hukuman) dan hal lain yang berkaitan dengannya.
Ada juga yang membagi menjadi tiga kategori besar saja:
1. Ibadat, yang mencakup shalat, zakat, puasa, haji dan jihad
2. Mu’amalat, yang mencakup transaksi barang, amanah, nikah dan hal-hal yang berhubungan dengannya serta waris.
3. ‘Uqubat, yang mencakup qishash, hukuman mencuri, zina, qadzaf dan murtad.
Pembagian Fiqh menjadi dua kategori besar seperti di awal lebih banyak dipakai oleh ulama kontemporer, karena memberikan ruang gerak yang luas sehingga Fiqh benar-benar bisa menjadi solusi kehidupan. Hal ini bisa kita saksikan dalam karangan-karangan Syekh Mahmud Syaltut, Dr. Salam Madkur, Dr. Sya’ban Muhammad Isma’il, Dr. Wahbah Zuhaili dan lain sebagainya.
Belakangan banyak sekali kita dengar tentang tawaran-tawaran pembaharuan dalam bidang Fiqh, salah satu yang paling penulis setujui adalah konsep yang ditawarkan oleh Dr. Jamal ‘Athiyah dalam buku Tajdid al-Fiqh al-Islami, terutama yang berkenaan dengan materi pembahasan yang dibutuhkan oleh Fiqh kontemporer, beliau menyusun 16 masalah besar yang mesti ada dalam menyusun sebuah karangan Fiqh kontemporer yang kompleks dan memasukkan masalah iman dan akhlak sebagai salah satu bab yang dibutuhkan agar Fiqh tidak kehilangan ruh.

C. Tujuan, Fungsi dan Peletak Ilmu Fiqh
Berbicara tentang tujuan berarti kita berbicara tentang sesuatu yang ingin dicapai ketika kita mencapai akhir dari suatu yang dilakukan, bagi seorang mukmin tidak ada tujuan dari hidupnya kecuali dikerucutkan kepada satu kalimat “mengharapkan ridha Allah serta kebahagiaan di dunia dan akhirat”. Demikian juga halnya dengan mempelajari ilmu apa saja, termasuk Fiqh, bagi seorang mukmin tujuannya juga diarahkan ke sana, ridha Allah swt dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Adapun tentang fungsi Ilmu Fiqh, di dalam mukadimah al-Iqna’ karangan asy-Syarbaini al-Khathib disebutkan bahwa fungsi ilmu Fiqh adalah untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, namun jika boleh menambahkan penjelasan di sini, alangkah lebih tepatnya jika ditambahkan “untuk menghindari kesalahan dalam melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya”, dengan kata lain fungsi Ilmu Fiqh adalah agar kehidupan seorang mukmin berjalan dengan benar sesuai yang dituntut oleh Allah swt. Dengan demikian fungsi akan selaras dengan tujuan.
Sedangkan peletak ilmu Fiqh tidak lain adalah Dia yang mememiliki hak menetapkan aturan hidup manusia, yaitu Allah swt .

D. Posisi Ilmu Fiqh Terhadap Ilmu-Ilmu Lainnya Dan Hukum Mempelajarinya
Untuk menjelaskan masalah ini kita cukup mengetahui pembagian ilmu oleh beberapa kalangan ulama.
- Ibnu Khaldun, beliau membagi ilmu secara garis besar menjadi dua kelompok:
1. Ilmu alat, seperti: Nahwu, Bahasa, Mantiq (Logika), Filsafat, Berhitung dan Geografi
2. Ilmu yang dijadikan tujuan (maqshudah bi adz-dzat), seperti: Tafsir, Hadits dan Fiqh.  Dalam lain kesempatan kategori ini disebut juga ilmu ghayah.
- Imam Muhyiddin Abu Zakariya an-Nawawi di dalam mukadimah al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab menerangkan tentang pembagian ilmu syar’i kepada tiga jenis, sekaligus memperjelas hukum mempelajari tiap-tiap ilmu tersebut :
1. Fardhu ‘Ain, yaitu ilmu yang dipelajari atau dibutuhkan seorang mukalaf  untuk mengerjakan sesuatu yang hukumnya fardhu ‘ain, atau dengan ungkapan lain ilmu yang terkait dengan sahnya hukum ibadah, mu’amalah dan nikah . Diantara ilmu ini seperti cara berwudhu, shalat, puasa dan lain sebagainya yang menjadi fardhu ‘ain bagi seorang mukalaf.
2. Fardhu Kifayah, yaitu ilmu yang dibutuhkan untuk memperkuat agama seseorang, seperti menghafal al-Qur’an, hadits, Ushul, Fiqh, Nahwu, Bahasa, Sharaf, ilmu perawi hadits, Ijma’, ilmu Khilaf, dan termsauk juga ilmu yang dibutuhkan untuk kemaslahatan seseorang di dunia seperti ilmu kedokteran dan berhitung.
3. Nafilah, seperti mendalami dalil-dalil dasar dan menekuni sesuatu yang melebihi kadar ilmu fardhu kifayah.
Dari hal di atas bisa kita simpulkan bahwa secara umum ilmu Fiqh bisa dikategorikan ilmu ghayah,  yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan seorang muslim untuk mencapai tujuan asasi, kebahagian di dunia dan akhirat. Sedangkan hukum mempelajarinya secara umum bisa kita katakan fardhu kifayah kecuali dibeberapa permasalahan yang berkaitan dengan fardhu ‘ain, maka hukumnya berobah menjadi fardhu ‘ain, atau bisa dikatakan juga bahwa jika ilmu ini sejalan dan termasuk kedalam sesuatu yang dibutuhkan untuk menyempurnakan yang wajib, maka hukumnya juga wajib (ما لا يتوقف الواجب إلا به فهو واجب) .

E. Kelebihan dan Ciri Khas Ilmu Fiqh
Dr. Wahbah Zuhaili menyebutkan sekitar 8 ciri khas fiqh yang menjadikannya berbeda dari ilmu-ilmu hukum lainnya yang tergolong hukum konvensional :
1. Dasarnya Wahyu Ilahi
2. Mencakup seluruh kebutuhan kehidupan, sebagaimana yang dijelaskan dalam pembahasan cakupan pembahasan Ilmu Fiqh terdahulu.
3. Selalu memiliki sifat religius karena keterkaitannya dengan halal dan haram
4. Fiqh berhubungan dengan akhlak dan moral
5. Balasan atau hukuman dalam fiqh selalu berkaitan dengan dua sisi duniawi dan ukhrawi
6. Fiqh memelihara kepentingan individu dan kepentingan umum bersama sekaligus, dan jika terjadi pertentangan antara kedua sisi tersebut maka didahulukan kepentingan umum.
7. Fiqh mampu bertahan dan dipraktekkan untuk selama-lamanya, karean Fiqh memiliki standar-standar baku yang tidak berubah sepanjang masa, seperti ridha atau prinsip suka sama suka sebagai salah satu standar dalam bentuk-bentuk transksi dalam Islam. Dan di sisi lain Fiqh juga memiliki sisi yang melentur sesuai perkembangan zaman, seperti qiyas, prinsip menjaga maslahat dan adat, dan lain sebagainya.
8. Tujuan dari standarisasi Fiqh dan ilmu-ilmu yang berkaitan denganya adalah untuk kesempurnaan fungsi yang diembannya baik bagi tataran praktis individu maupun tataran legalisasi karena ia juga bisa menjadi sumber hukum dan aturan di negara Islam manapun.
————————————————————
Sumber Rujukan:
1.Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami (buku pegangan mata kuliah Tarikh Tasyri’), 2002.
2.Dr. ‘Awadhullah Gad Higazi, Dirasat Fi al-’Aqidah al-Islamiyah, Kairo: Dar ath-Thiba’ah al-Muhammadiyah, Cet. II, 1996.
3.Dr. Muhammad Rabi’ Muhammad Jauhari, ‘Aqidatuna, vol. 1, Cet. X, 2005.
4.Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Fayyumi al-Muqri, al-Mishbah al-Munir, Kairo: Dar al-Hadits, 2003.
5.Dr. Abdul Hay ‘Azab Abdul ‘Al, Ushul al-Fiqh al-Muyassar (buku pegangan mata kuliah Ushul Fiqh Tematik untuk tahun I Fak. Syari’ah, Univ. Al-Azhar), Cet. II, 2006-2007.
6.Al-Ustadz al-Imam Abu Ishaq asy-Syairazi, al-Luma’ Fi Ushulil Fiqh, Manshurah: Dar al-Kalimah, 1997.
7.Al-Imam Jamaluddin Abdurrahim bin al-Hasan al-Asnawi, Nihayat as-Sul Fi Syarhi Minhaj al-Ushul Li al-Qadhi Nashiruddin al-Baidhawi (buku pegangan mata kuliah Ushul Fiqh untuk tahun I Fak. Syari’ah, Univ. Al-Azhar), Kairo: Dar as-Sa’adah, 2005-2006.
8.Dr. Sya’ban Muhammad Isma’il, al-Madkhal Li Dirasah al-Qur’an Wa as-Sunnah Wa al-’Ulum al-Islamiyah, vol II, Kairo: Dar al-Anshar, Cet. I.
9.Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Madkhal li ad-Dirasah al-Islamiyah, Beirut: Muassasah ar-Risalah, Cet. II, 2001.
10.Syamsuddin Muhammad bin Ahmad asy-Syarbaini al-Khathib, Al-Iqna’ Fi Halli  Alfazh Abi Syuja’, vol. I, Kairo: Mushthafa al-Babi al-Halabi, Cet. Akhir, tt.
11. Al-Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, vol. I, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Cet. I.
12. Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuh, vol. I, Damaskus: Dar al-Fikr, Edisi Revisi Cet. IV, 2004.
13.Tajdid al-Fiqh al-Islami, karangan Dr. Jamal ‘Athiyah dan Dr. Wahbah al-Zuhaili, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 2002.

Senin, 19 Juli 2010

Ilmu fiqih pada zaman sahabat nabi

Contohnya, hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu-, ia pernah ditanya tentang seorang wanita yang ditinggal mati suaminya. Sementara suami wanita itu belum menetapkan berapa mahar yang akan diberikan kepada si istri. Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- menjawab, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- memberi keputusan mengenai hal ini.” Mereka bolak-balik menemui Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- sebulan lamanya, dan mendesaknya untuk memberikan keputusan. Akhirnya Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- melakukan ijtihad dengan pendapatnya dan memutuskan bahwa wanita tersebut berhak menerima mahar seperti mahar yang diberikan suaminya kepada istrinya yang lain, tidak lebih dan tidak kurang. Wanita itu juga memiliki masa ‘iddah, dan berhak mendapatkan harta warisan dari suaminya. Kemudian berdirilah Ma’qal bin Yasar -radhiyallahu ‘anhu- dan bersaksi, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah memberikan keputusan seperti itu terhadap salah seorang dari mereka. Mendengar pernyataan Ma’qal -radhiyallahu ‘anhu- tersebut, Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- bergembira dengan kegembiraan yang belum pernah dirasakannya sejak keislamannya.
Ketujuh, ikhtilaf dalam mengkompromikan dua pendapat yang berbeda. Contohnya, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang menghadap  kiblat ketika buang hajat, lalu suatu kaum berpendapat tentang keumuman hukum ini dan ketentuan ini tidak mansukh (dihapuskan). Jabir -radhiyallahu ‘anhu- pernah melihat beliau buang air kecil sambil menghadap kiblat, satu tahun sebelum beliau wafat, sehingga ia berpendapat bahwa hukum larangan sudah mansukh (dihapuskan). Sementara Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhuma- sendiri pernah melihat beliau buang hajat sambil menghadap kiblat, sehingga ia membantah pendapat lain yang berlainan dengan hal itu.

Ijma dan Qiyas Adalah Juga Sumber Hukum Islam

Sumber Hukum Islam

Kata-kata “Sumber Hukum Islam’ merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti ‘sumber hukum Islam’, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah.[2]

Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum’.[3]
Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahâbi, syar’u man qablana.
Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan.[4] Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara’i.[5]
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad.[6]

Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman.

عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:”كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟”، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟”قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟”قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ:”الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ”

“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”.[7]

Hal yang demikian dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila terjadi kepada dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya maka ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw,, ia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul Saw, ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan.[8] Karena itu, pembahasan ini sementara kami batasi dua macam sumber hukum saja yaitu ijma’ dan qiyas.
Ijma’

Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan أجمع فلان على الأمر berarti berupaya di atasnya.[9]
Sebagaimana firman Allah Swt:
“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu. (Qs.10:71)
Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang.[10]
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara.[11]
Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’ .
‘Kesepakatan’ itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:
1. Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.
2. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.
3. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.
4. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.[12]

Syarat Mujtahid

Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
Syarat pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikut:
Pertama. Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
Kedua, Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
Ketiga, Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.

Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.[13]
Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah.[14]

Kehujjahan Ijma’

Apabila rukun ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan menghitung seluruh permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun individu.
Selanjutnya mereka mensepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).[15]

Qiyas

Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.[16]
Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.
Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt:

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.5:90)

Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.[17]
Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:

1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.
2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.[18]

Kehujjahan Qiyas

Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.[19]
Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:

“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)

Dari ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’ memiliki pengertian melewati dan melampaui.[20]

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs.4:59)

Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.[21]
Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad.[22]
Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan waji b diamalkan.
Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.[23]
Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.[24]

Rukun Qiyas

Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.
2. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.
3. Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.
4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.[25]
.
Wallahu A’lam.
.
[1] Disampaikan pada kajian keislaman YISC Al-Azhar hari Ahad, tanggal 30 Maret 2008.
[2] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu), 1999, hal 82.
[3] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 401.
[4] Abdul Wahhab al-Khallaf, ‘ilmu Ushul Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978) hal 21-22.
[5] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 401.
[6] Lihat, Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2, hal 305.
[7] Hadits diriwayatkan al-Thabrani (lihat: al-Mu’jam al-Kabir, Juz 15), hal 96.
[8] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 402.
[9] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 468.
[10] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 468.
[11] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 469.
[12] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 45-46.
[13] Lebih lanjut lihat Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 474-476.
[14] Kajian mengenai maqashid al-syariah dikemukakan secara komprehensif oleh Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitabnya: al-Muwafaqat fi ushul al-Syariah. Lihat al-Syatibi, al-Muwafaqat, juz 2, hal 5-12.
[15] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 46-47.
[16] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 173.
[17] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 53.
[18] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 175.
[19] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 53.
[20] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 592.
[21] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 175.
[22] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 56.
[23] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 597.
[24] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 58.
[25] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 60. Lebih lanjut lihat hal 60-78.

.
Sumber: http://tebuireng.net/
Catatan:
Dalam beberapa tulisan para wahabi/ salafi, mereka memasukkan “Masalihul-mursalah” sebagai landasan dalil ketika membolehkan hal-hal baru. Ini terlihat dalam berbagai tulisan dan diskusi mereka tentang Bid’ah.


“Masalihul-mursalah” adalah satu metode yang dipakai oleh Imam Maliki dalam madzabnya (madzab maliki) untuk menentukan hukum, sebagaimana tercatat di sini. Rupanya mereka berpegang pada imam Syatibi tentang definisi bid’ah itu, dan as Syatibi adalah seorang ulama bermadzab maliki.


Yang ganjil adalah seharusnya mereka memakai/ mendahulukan Qiyas pula untuk menentukan hal-hal baru sebagaimana imam malik (dan imam-imam madzab lainnya), tidak dari Qur’an dan Hadits langsung ke masalih mursalah. Dalam madzab maliki Qiyas lebih didahulukan daripada masalihul mursalah. Lihat link kami di atas.
Wallahu a’lam.

Jumat, 16 Juli 2010

MENCIUM TANGAN ORANG YANG SHALEH SUNAH HUKUMNYA

Perlu diketahui bahwa mencium tangan orang yang saleh, penguasa yang bertakwa dan orang kaya yang saleh adalah perkara mustahabb (sunnah) yang disukai Allah. Hal ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah dan dan atsar para sahabat, yang akan kita sebutkan berikut ini.
Di antaranya, hadits riwayat al-Imam at-Tirmidzi dan lainnya, bahwa ada dua orang Yahudi bersepakat menghadap Rasulullah. Salah seorang dari mereka berkata: “Mari kita pergi menghadap -orang yang mengaku- Nabi ini untuk menanyainya tentang sembilan ayat yang Allah turunkan kepada Nabi Musa”. Tujuan kedua orang Yahudi ini adalah hendak mencari kelemahan Rasulullah, karena beliau adalah seorang yang Ummi (tidak membaca dan tidak menulis). Mereka menganggap bahwa Rasulullah tidak mengetahui tentang sembilan ayat tersebut. Ketika mereka sampai di hadapan Rasulullah dan menanyakan prihal sembilan ayat yang diturunkan kepada Nabi Musa tersebut, maka Rasulullah menjelaskan kepada keduanya secara rinci tidak kurang suatu apapun. Kedua orang Yahudi ini sangat terkejut dan terkagum-kagum dengan penjelasan Rasulullah. Keduanya orang Yahudi ini kemudian langsung mencium kedua tangan Rasulullah dan kakinya. Al-Imam at-Tarmidzi berkata bahwa kulitas hadits ini Hasan Shahih#.
Abu asy-Syaikh dan Ibn Mardawaih meriwayatkan dari sahabat Ka’ab ibn Malik, bahwa ia berkata: “Ketika turun ayat tentang (diterimanya) taubat-ku, aku mendatangi Rasulullah lalu mencium kedua tangan dan kedua lututnya”#.
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam kitabnya al-Adab al-Mufrad bahwa sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib telah mencium tangan al-‘Abbas ibn ‘Abd al-Muththalib dan kedua kakinya, padahal ‘Ali lebih tinggi derajatnya dari pada al-‘Abbas. Namun karena al-‘Abbas adalah pamannya sendiri dan seorang yang saleh maka dia mencium tangan dan kedua kakinya tersebut#.
Demikian juga dengan ‘Abdullah ibn ‘Abbas, salah seorang dari kalangan sahabat yang masih muda ketika Rasulullah meninggal. ‘Abdullah ibn ‘Abbas pergi kepada sebagian sahabat Rasulullah lainnya untuk menuntut ilmu dari mereka. Suatu ketika beliau pergi kepada Zaid ibn Tsabit, salah seorang sahabat senior yang paling banyak menulis wahyu. Saat itu Zaid ibn Tsabit sedang keluar dari rumahnya. Melihat itu, dengan cepat ‘Abdullah ibn ‘Abbas memegang tempat pijakan kaki dari pelana hewan tunggangan Zaid ibn Tsabit. ‘Abdullah ibn ‘Abbas menyongsong Zaid untuk menaiki hewan tunggangannya tersebut. Namun tiba-tiba Zaid ibn Tsabit mencium tangan ‘Abdullah ibn ‘Abbas, karena dia adalah keluarga Rasulullah. Zaid ibn Tsabit berkata: “Seperti inilah kami memperlakukan keluarga Rasulullah”. Padahal Zaid ibn Tsabit jauh lebih tua dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas. Atsar ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Abu Bakar ibn al-Muqri dalam Juz Taqbil al-Yad.
Ibn Sa’d juga meriwayatkan dengan sanad-nya dalam kitab Thabaqat dari ‘Abd ar-Rahman ibn Zaid al-‘Iraqi, bahwa ia berkata: “Kami telah mendatangi Salamah ibn al-Akwa’ di ar-Rabdzah. Lalu ia mengeluarkan tangannya yang besar seperti sepatu kaki unta, kemudian dia berkata: “Dengan tanganku ini aku telah membaiat Rasulullah”. Oleh karenanya lalu kami meraih tangan beliau dan menciumnya”#.
Juga telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa al-Imam Muslim mencium tangan al-Imam al-Bukhari. Al-Imam Muslim berkata kepadanya:

وَلَوْ أَذِنْتَ لِيْ لَقَبَّلْتُ رِجْلَكَ.
“Seandainya anda mengizinkan pasti aku cium kaki anda”#.

Dalam kitab at-Talkhish al-Habir, al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menuliskan sebagai berikut: “Tentang masalah mencium tangan ada banyak hadits yang dikumpulkan oleh Abu Bakar ibn al-Muqri, beliau mengumpulkannya dalam satu juz penuh. Di antaranya hadits ‘Abdullah ibn ‘Umar, dalam menceritakan suatu peristiwa di masa Rasulullah, beliau berkata:

فَدَنَوْنَا مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلْنَا يَدَهُ وَرِجْلَهُ (رواه أبو داود)
“Maka kami mendekat kepada Rasulullah lalu kami cium tangan dan kakinya”. (HR. Abu Dawud)

Di antaranya juga hadits Shafwan ibn ‘Assal, dia berkata: “Ada seorang Yahudi berkata kepada temannya: Mari kita pergi kepada Nabi ini (Muhammad). Kisah lengkapnya seperti tertulis di atas. Kemudian dalam lanjutan hadits ini disebutkan:

فَقَبَّلاَ يَدَهُ وَرِجْلَهُ وَقَالاَ: نَشْـهَدُ أَنَّكَ نَبِيٌّ.
“Maka keduanya mencium tangan Nabi dan kakinya lalu berkata: Kami bersaksi bahwa engkau seorang Nabi”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Para Penulis Kitab-kitab Sunan (al-Imam at-Tirmidzi, al-Imam an-Nasa’i, al-Imam Ibn Majah, dan al-Imam Abu Dawud) dengan sanad yang kuat.
Juga hadits az-Zari’, bahwa ia termasuk rombongan utusan ‘Abd al-Qais, bahwa ia berkata:

فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Maka kami bergegas turun dari kendaraan kami lalu kami mencium tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam”. (HR. Abu Dawud)

Dalam hadits tentang peristiwa al-Ifk (tersebarnya kabar dusta bahwa as-Sayyidah ‘Aisyah berbuat zina) dari 'Aisyah, bahwa ia berkata: “Abu Bakar berkata kepadaku:

قُوْمِيْ فَقَبِّلِيْ رَأْسَهُ.
“Berdirilah dan cium kepalanya (Rasulullah)”. (HR. Ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir)#.

Dalam kitab sunan yang tiga (Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i) dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata:

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَشْبَهَ سُمْتًا وَهَدْيَا وَدَلاًّ بِرَسُوْلِ اللهِ مِنْ فَاطِمَةَ، وَكَانَ إِذَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ قَامَ إِلَيْهَا فَأَخَذَ بِيَدِهَا فَقَبَّلَهَا وَأَجْلَسَهَا فِيْ مَجْلِسِهِ، وَكَانَتْ إِذَا دَخَلَ عَلَيْهَا قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ فَقَبَّلَتْهُ، وَأَجْلَسَتْهُ فِيْ مَجْلِسِهَا.
“Aku tidak pernah melihat seorangpun lebih mirip dengan Rasulullah dari Fathimah dalam sifatnya, cara hidup dan gerak-geriknya. Ketika Fathimah datang kepada Rasulullah, maka Rasulullah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan Fathimah, kemudian Rasulullah mencium Fathimah dan membawanya duduk di tempat duduk beliau. Dan apabila Rasulullah datang kepada Fathimah, maka Fathimah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan Rasulullah, kemudian mencium Rasulullah, setelah itu ia mempersilahkan beliau duduk di tempatnya”.

Demikian penjelasan al-Hafizh Ibn Hajar dalam kitab at-Talkhish al-Habir.
Dalam hadits yang terakhir disebutkan, juga terdapat dalil tentang kebolehan berdiri untuk menyambut orang yang masuk datang ke suatu tempat, jika memang bertujuan untuk menghormati bukan untuk menyombongkan diri dan menampakkan keangkuhan.
Sedangkan hadits riwayat al-Imam Ahmad dan al-Imam at-Tirmidzi dari Anas ibn Malik yang menyebutkan bahwa para sahabat jika mereka melihat Rasulullah mereka tidak berdiri untuknya karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah tidak menyukai hal itu, hadits ini tidak menunjukkan kemakruhan berdiri untuk menghormati. Pemaknaan hadits ini bahwa Rasulullah tidak menyukai hal itu karena beliau takut akan diwajibkan hal itu atas para sahabat. Dengan demikian, Rasulullah tidak menyukai hal itu karena beliau menginginkan keringanan bagi ummatnya. Sebagaimana sudah diketahui bahwa Rasulullah kadang suka melakukan sesuatu tapi ia meninggalkannya meskipun ia menyukainya karena beliau menginginkan keringanan bagi ummatnya.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Abu Dawud dan al-Imam at-Tirmidzi bahwa Rasulullah bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَتَمَثَّلَ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رَوَاه أبو دَاوُد والتّرمذيّ)

berdiri yang dilarang dalam hadits ini adalah berdiri yang biasa dilakukan oleh orang-orang Romawi dan Persia kepada raja-raja mereka. Jika mereka ada di suatu majelis lalu raja mereka masuk, maka mereka berdiri untuk raja tersebut dengan Tamatstsul; artinya berdiri terus hingga sang raja pergi meninggalkan majelis atau tempat tersebut. Ini yang dimaksud dengan Tamatstsul dalam bahasa Arab.
Sedangkan riwayat yang disebutkan oleh sebagian orang bahwa Rasulullah menarik tangannya dari tangan orang yang hendak menciumnya, ini adalah hadits yang sangat lemah menurut ahli hadits#.
Maka sangat aneh bila ada orang yang menyebut-nyebut hadits dla’if ini dengan tujuan menjelekkan perbuatan mencium tangan. Bagaimana dia meninggalkan sekian banyak hadits shahih yang membolehkan mencium tangan, dan dia berpegangan dengan hadits yang sangat lemah untuk melarangnya!? Hasbunallah.

Kamis, 15 Juli 2010

• Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW
• Al-Imam Ali bin Abi Tholib Karromallohu Wajhah
• Assayyid Husein bin 'Ali bin Abi Tholib Karromallohu Wajhah
• Assayyid 'Ali Zaenal 'Abidin
• Assayyid Muhammad Al-Baqir
• Assayyid Ja'far Asshodiq
• Assayyid 'Ali Al'Uryadh
• Assayyid Muhammad Annaqib
• Assayyid 'Isa Arrumy
• Assayyid Ahmad Almuhajir bin 'Isa
• Assayyid 'Ubaydillah bin Ahmad Almuhajir
• Assayyid 'Alawy bin 'Ubaydillah
• Assayyid Muhammad bin 'Alawy
• Assayyid 'Alawy bin Muhammad
• Assayyid 'Ali bin 'Alawy Kholi' Qosam
• Assayyid Muhammad Shohibul Mirbath
• Assayyid 'Ali bin Muhammad
• Al-Imam Faqihil Muqoddam Muhammad bin 'Ali
• Habib 'Alawy Alghoyyur bin Faqihil Muqoddam
• Habib 'Ali bin 'Alawy Alghoyyur
• Habib Muhammad Maula Addawilah
• Habib 'Abdurrahman Asseqof bin Muhammad
• Habib Abu Bakar Assakran
• Habib 'Ali bin Abu Bakar Assakran
• Habib 'Abdurrahman bin 'Ali
• Habib Ahmad bin Abdurrahman Syahaabuddin
• Habib Abu Bakar bin Salim Fakhrul Wujud
• Habib Husein bin Abu Bakar
• Habib 'Umar bin 'Abdurrahman Alatthos
• Habib 'Abdulloh bin 'Alawy Alhaddad
• Habib Ahmad bin Zein Alhabsyi
• Habib Hamid bin 'Umar Ba'Alawy
• Habib 'Umar bin Seqof Asseqof
• Habib 'Abdulloh bin Husin bin Thohir
• Habib 'Abdurrahman Almasyhur
• Habib 'Ali bin Muhammad Alhabsyi
• Habib 'Abdulloh bin Umar Assyathiry
• Habib 'Abdul Qodir bin Ahmad Asseqof
• Habib Umar bin Hafidz
• Habib Munzir bin fuad Almusawa

Rabu, 14 Juli 2010

Makna Shalat Berjamaah

Di dalam hadits dikatakan bahwa pahala shalat berjamaah adalah 27 kali dibandingkan dengan shalat sendiri. banyak orang Islam berhitung secara kuantitatif seolah-olah dengan melakukan shalat berjamaah maka ia akan menabung pahala sebanyak 27 kali. demikian juga ketika di dalam hadis dikatakan bahwa shalat di MAsjidil Haram akan dilipatgandakan pahalanya sebanyak seratus ribu kali lipat. Luar biasa.

Saya pribadi memahami masalah ini dari sisi kepemimpinan dan persatuan Islam. shalat berjamaah berarti berkelopok dengan panduan seorang imam. Apa yang dilakukan imam akan diikuti oleh makmumnya, kecuali imam salah. Semua makmum harus berbaris dengan shaf yang teratur dan lurus. Semua mengikuti arah Imam, betapa kuatnya oraganisasi ini. Siapa yang dapat mematahkan shaf yang kokoh? Sayang makna dari keuntungan shalat berjamaah luput dimengerti oleh umat islam!

Dosa dan kemurkaan Allah

Apa yang dimaksud dengan dosa? Dosa adalah melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan keridhaan Allah, dan melanggar petunjuk-petunjuk yang telah dia berikan melalui para rasul-Nya, khususnya Rasulullah saw, serta dengan berani melawan petunjuk-petunjuk tersebut, itulah dosa.

Apabila kepada seorang hamba manusia diberikan pengetahuan dan diajarkan tentang petunjuk-petunjuk Allah taala kemudian dia melanggar petunjuk-petunjuk itu secara durhaka dan jahat dia melakukan dosa, maka Allah taala akan marah sekali. Dan akibat dari kemarahan itu tidak hanya setelah mati saja dia peroleh, justru di dunia ini juga dia akan mengalami berbagai macam azab serta kehinaan.

ISLAM AGAMA FITRAH

Islam merupakan agama fitrah. Agama yang dikehendaki oleh fitrah manusia adalah Islam. Artinya di dalam islam tidak ada kepalsuan. Seluruh ajarannya bersesuaian dengan fitrah manusia. Tidak seperti halnya akidah Trinitas dan Penebusan dosa yang tidak dapat di mengerti. Orang-orang Kristen sendiri mengaku bahwa dimana saja Trinitas belum masuk, disana akan muncul permintaan akan Tauhid. Sebab, yang bersesuaian dengna fitrah hanyalah Tauhid. Seandainya pun Alquran syarif tidak ada, maka tetap saja fitrah manusia mengakui TAuhid. Sebab hal itu bersesuaian dengan syariat batin. Demikian pula seluruh ajaran Islam adalah bersesuaian dengan syariat batin. Berbeda dengan ajaran orang-orang Kristen yang bertentangan dengan hal itu.

Lihatlah baru-baru ini di Amerika terpaksa diluluskan hukum perceraian yang bertentangan dengan Injil. Mengapa hal itu harus terjadi? Sebabnya adalah jaran injil tidak bersesuaian dengan fitrah manusia.

Hadits-hadits tentang kasih Sayang Rasulullah

Abdullah bin Abu Bakar r.a. meriwayatkan dari seseorang katanya: “Pada suatu hari dalam perjalanan untuk berperang di Hunain, saya memakai sepatu kulit yang tebal. Saya berjalan dibelakang Rasulullah s.a.w. Karena jalan sangat sempit tiba-tiba kaki Rasulullah s.a.w. tersandung oleh sepatu saya dan terinjak dari belakang sehingga beliau kesakitan dan beliau segera memukul perlahan saja sambil mendorong saya kebelakang dengan sebuah pecut (cambuk) yang beliau pegang sambil bersabda: “Hai Fulan, engkau telah menyakiti kakiku.” Beliau (Abdullah bin Abu Bakar r.a) mengatakan: “sepanjang malam orang itu tidak bisa tidur karena dia merasa bersalah sudah menyakiti kaki Rasulullah s.a.w, dia berulang-kali berpikir dan menyesali diri sendiri, mengapa saya telah menyakiti Rasulullah s.a.w. Keesokan harinya pagi-pagi sekali seorang datang mencarinya untuk berjumpa Rasulullah s.a.w. Katanya, “saya dengan perasaan gemetar dan takut datang menghadap Rasulullah s.a.w. Beliau bersabda kepada saya” “Hai Fulan! Kemarin engkau telah menginjak kakiku dan engkau telah menyakiti aku. Tapi sebaliknya aku telah memukul sambil mendorong engkau kebelakang dengan cambukku ini supaya kakiku terlepas dari kaki engkau. Aku pukul engkau perlahan sambil mendorong engkau kebelakang dengan cambukku ini, tentu aku telah menyakiti engkau. Oleh karena itu ambillah dari aku 80 (delapan puluh) ekor domba sebagai balasan rasa sakit engkau karena cambukku ini.

KAITAN ISLAM DAN TERORISME

Islam berarti agama yang damai. Seseorang yang mengikuti Islam akan menemukan bahwa dirinya dilingkupi oleh ajaran luhur yang bertujuan untuk mendirikan perdamaian antara manusia dengan Allah, Pencipta segala makhluk; antara sesama manusia; dan antara manusia dengan makhluk Allah lainnya. Bagaimana mungkin agama semacam ini dapat berurusan dengan isu-isu terorisme?

KEMUSYRIKAN DALAM ISLAM

Apa perhatian utama Rasulullah saw dalam dakwahnya semasa hidup beliau? Tak lain adalah Tauhid Ilahi. Rasulullah saw semenjak beliau mendakwahkan risalat hingga akhir hayat beliau, terus menerus mengumandangkan ajaran laa ilaaha Illallah yakni, tiada yang layak disembah kecuali Allah. tetapi bagaimana kenyataannya sekarang?

Namun demikian, kita menyaksikan bahwa di antara orang orang yang menyebut diri mereka orang-orang Islam, kebanyakan dari mereka dengan terang-terangan berbuat hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam ini. Siapakah di antara orang-orang Islam yang hidup seribu tiga ratus tahun yang lalu menyangka bahwa pada suatu ketika kelak orang-orang yang memikul panji laa ilaaha illallah akan bersujud kepada kuburan-kuburan? Siapakah menyangka bahwa mereka akan bersembahyang dengan menghadapkan muka ke arah tempat-tempat orang-orang suci mereka dan mereka mempercayai manusia-manusia yang mengetahui gaib? Siapakah menyangka bahwa mereka akan menganggap para wali memiliki kekuasaan Allah dan memohon kepada orang-orang mati supaya maksud-maksud mereka terkabul? Siapakah menyangka bahwa mereka akan mempersembahkan sesajen-sesajen di atas kuburan-kuburan? Adapun tentang orang-orang keramat, mereka berkeyakinan bahwa apa pun yang diinginkan orang orang keramat itu akan dikabulkan oleh Allah Taala dan menyangka bahwa wujud mereka itu hadir di mana-mana. Mereka memberikan korbanan yang dialamatkan kepada orang-orang lain selain Allah. Kemudian, paling celaka lagi, mereka mengatakan bahwa semua ajaran itu merupakan ajaran Alquran Suci dan ajaran junjungan kita Rasulullah saw. Akan tetapi, dari timur sampai barat dan dari utara sampai selatan, di tempat-tempat orang-orang Islam tinggal, semua hal yang disebutkan di atas tengah dilakukan; dan sebagian besar orang-orang Islam melakukan paling tidak satu di antara hal-hal tersebut di atas