Senin, 19 Juli 2010

Ilmu fiqih pada zaman sahabat nabi

Contohnya, hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu-, ia pernah ditanya tentang seorang wanita yang ditinggal mati suaminya. Sementara suami wanita itu belum menetapkan berapa mahar yang akan diberikan kepada si istri. Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- menjawab, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- memberi keputusan mengenai hal ini.” Mereka bolak-balik menemui Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- sebulan lamanya, dan mendesaknya untuk memberikan keputusan. Akhirnya Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- melakukan ijtihad dengan pendapatnya dan memutuskan bahwa wanita tersebut berhak menerima mahar seperti mahar yang diberikan suaminya kepada istrinya yang lain, tidak lebih dan tidak kurang. Wanita itu juga memiliki masa ‘iddah, dan berhak mendapatkan harta warisan dari suaminya. Kemudian berdirilah Ma’qal bin Yasar -radhiyallahu ‘anhu- dan bersaksi, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah memberikan keputusan seperti itu terhadap salah seorang dari mereka. Mendengar pernyataan Ma’qal -radhiyallahu ‘anhu- tersebut, Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- bergembira dengan kegembiraan yang belum pernah dirasakannya sejak keislamannya.
Ketujuh, ikhtilaf dalam mengkompromikan dua pendapat yang berbeda. Contohnya, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang menghadap  kiblat ketika buang hajat, lalu suatu kaum berpendapat tentang keumuman hukum ini dan ketentuan ini tidak mansukh (dihapuskan). Jabir -radhiyallahu ‘anhu- pernah melihat beliau buang air kecil sambil menghadap kiblat, satu tahun sebelum beliau wafat, sehingga ia berpendapat bahwa hukum larangan sudah mansukh (dihapuskan). Sementara Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhuma- sendiri pernah melihat beliau buang hajat sambil menghadap kiblat, sehingga ia membantah pendapat lain yang berlainan dengan hal itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar